Selasa, 11 Februari 2014

Jurus Tebak-Tebakan Agung


“Assalamualaikum, Perkenalkan nama Saya Azhar, Pak,Bu” ucap saya sambil bersalaman ketika pertama kali dipersilahkan masuk ke salah satu rumah cukup besar namun sederhana di Desa Cemara Kulon. “Saya Karyadi,ini Istri saya Iin dan ini anak kami namanya Bayu”. Sambutan hangat dari keluarga kecil itu seakan menghilangkan rasa lelahku setelah selama seharian penuh berangkat dari Depok menuju Kabupaten Indramayu dengan serangkaian aktivitas di dalamnya. Hari ini adalah hari pertama saya menapaki kisah di desa yang terkenal sebagai penghasil mangga, udang, dan Ikan ini. Keluarga Bapak Karyadi akan menjadi keluarga baru saya selama kurang lebih tiga Minggu mengabdi di desa ini, Desa Cemara Kulon. Desa yang akses jalan masuknya tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda empat, karena hanya dihubungkan oleh jembatan bambu dengan aliran sungai deras dibawahnya.

Bapak Azhar, begitu saya disapa di desa ini. Pengajar kelas 2 SDN Cemara Kulon dengan 29 anak didik beragam karakter dan tingkah laku menggemaskan. Saya bahkan sering kelelelahan menghadapi tingkah laku anak-anak ini, wajar memang karena menurut Ilmu Psikologi Pendidikan, karakteristik siswa usia Sekolah Dasar khususnya kelas 2 merupakan anak-anak yang senang bermain, bergerak, senang bekerja dalam kelompok, dan konkret. Maksudnya konkret disini adalah siswa akan lebih cepat paham jika ia merasakan, melakukan, atau memperagakan suatu materi dalam proses pembelajaran secara langsung.

Baca, tulis, hitung adalah inti dari beragam materi pelajaran yang saya berikan di kelas ini, tentunya dengan cara-cara kreatif yang disukai anak-anak. Penanaman nilai-nilai positif dalam kehidupan juga beberapa kali saya terapkan dalam kegiatan belajar mengajar, seperti tanggung jawab, kejujuran, kerja keras, toleransi, keberanian, dll.

Siswa kelas 2 SDN Cemara Kulon terdiri dari 19 orang laki-laki dan 10 orang perempuan. Mayoritas siswa laki-laki terlihat lebih aktif dan agresif dibandingkan dengan siswa perempuan. Namun dari segi akademis, terlihat siswa perempuan lebih unggul dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini terbukti ketika di hari pertama kegitan belajar mengajar, saya mencoba melakukan tes kecil-kecilan untuk mengukur sejauh mana kemampuan baca, tulis, dan hitung mereka. Hasil tes tersebut membuat saya cukup terkejut karena dari 29 anak, yang sudah benar-benar lancar membaca hanya 11 siswa, 7 siswa masih mengeja, 11 anak masih sulit untuk mengeja. Dari 10 anak perempuan, hanya 2 anak yang masih sulit membaca, selebihnya masuk ke dalam kategori yang sudah lancar membaca. Bahkan yang membuat saya prihatin beberapa anak masih belum hafal alfabet, untuk membedakan beberapa huruf saja masih sulit. Masalah ini akan menjadi fokus utama saya selama mengajar disini, pikir saya.

“Coba kamu baca bagian ini”, perintah saya sambil menyodorkan buku cerita. Namun tak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya. “Kalau begitu coba kamu sebutkan alfabet dari A sampai Z, pakai nyanyian juga gak apa-apa” tambah saya. “A,B,C,D, F, G……., K,L,M,O,……..Z”. “Uwis Pak”. Ucap ia menyatakan bahwa sudah selesai. “ Kamu sadar gak? Alfabet yang tadi kamu sebutkan itu ada yang terlongkap”. jawab saya sambil kembali mencontohkan lafal alfabet dari A sampai Z. “Oh iya Pak”, jawabnya sambil tersenyum memegang keningnya. Kira-kira begitu percakapan saya ketika sedang melakukan tes dengan salah satu siswa, yang membuat saya cukup prihatin dengan kemampuannya.

Siswa ini bernama Wahyudi Agung Cahyadi, biasa dipanggil  Agung. Anak keenam dari enam bersaudara pasangan Bapak Kulyadi dan Ibu Darisem ini sangat menarik perhatian saya. Selain karena kemampuannya yang tertinggal dibanding dengan teman-temannya, perilakunya bisa dikatakan paling aktif dibandingkan dengan anak lainnya. Setiap hari ruang kelas selalu dipenuhi oleh suara teriakannya, seluruh sudut lantai kelas seakan tak pernah ada yang terlewat dari langkah kakinya. Rasa keingintahuan berlebih tentang sosok Agung selalu menggelayuti pikiran saya setiap hari. Mengapa dia terlihat cukup berbeda dibanding dengan anak lainnya. Perlu diketahui, dibalik sosoknya yang sangat aktif, Agung juga sosok anak yang bisa dikatakan penurut. Ia bahkan bisa langsung melaksanakan semua perintah yang saya instruksikan.

"Hari ini Bapak akan memilih kapten kelas yang baru, siapa yang mau jadi Kapten kelas?" Pertanyaan yang sama selelu terlontar ketika saya memulai proses kegiatan belajar mengajar pada pagi hari. Pergantian ketua kelas atau saya menyebutnya Kapten kelas sengaja saya lakukan setiap hari untuk mengajarkan keberanian dan tanggung jawab kepada anak-anak. "Saya Pak, saya Pak, Saya pak!" teriak beberapa anak dengan antusiasnya. Hari itu dari sekian banyak anak yang tunjuk tangan, saya melihat Agung menunjuk tangan. Sontak mata saya langsung tertuju padanya, terlintas dalam pikiran saya apa jadinya jika Agung yang menjadi Kapten Kelas. Mungkin dengan diberikan tanggung jawab, ia akan mengurangi kegaduhannya di kelas dan justru menjaga suasana kelasnyya agar tetap kondusif. “Ya Agung, hari ini kamu Bapak tunjuk sebagai Kapten Kelas, setuju kan teman-teman?”. “wooooo, aja Agung Pak!” sahut beberapa anak yang tidak setuju. Tapi saya tetap memberikan kepercayaan kepada Agung sebagai Ketua Kelas.

“Hari ini adalah pelajaran Matematika, coba buka buku matematika kalian ya”. Sesuai dengan Rancangan Program Pembelajaran yang saya buat, kali ini kami belajar perkalian. Hal pertama yang saya lakukan adalah mengenalkan konsep perkalian terlebih dahulu. “jadi perkalian itu lambangnya begini ya, perkalian itu adalah penjumlahan bertingkat, contohnya seperti ini”. Panjang lebar saya menjelaskan tentang konsep perkalian kepada anak-anak. Semuanya hening, anak-anak berusaha memperhatikan materi yang saya berikan. Namun, itu semua tidak berlangsung lama, fokus anak-anak hanya bisa berlangsung kurang lebih 10 menit. Ya, selanjutnya bagaimana cara saya memaksimalkan hilang fokus anak-anak agar tetap antusias belajar. Suasana mulai ramai, teriakan anak-anak mulai menggema di sudut-sudut kelas. “Agung, kamu sebagai kapten Kelas harus menertibkan teman-teman kamu yang berisik dan jalan-jalan ya”. “Siap, Pak!”. Jawab Agung tegas sambil member hormat kepada saya. Saya hanya bisa tersenyum melihat kelakuan Agung saat itu, ia mengambil penggaris dan langsung memukul semua temannya yang terlihat jalan-jalan dan berisik. “Ayo duduk!”, perintahnya dengan tegas. “Agung, jangan pake penggaris nyuruh duduknya, kasihan temannya”. Sahut saya. Terlepas dari caranya yang salah, saya sangat bangga melihat ia berusaha bertanggung jawab melaksanakan tugas yang saya berikan sebagai Kapten Kelas.

“Be ubu : Bu, Ka uku : Ku”
“Jadi apa?”
 “KuKu”.
 “Sudah berapa kali Bapak bilang, jangan nebak-nebak Agung!”
Begitu kira-kira dialog saya dengan Agung di ruang kelas 2 setiap sore ketika diadakan les tambahan untuk anak-anak yang masih kurang kemampuan membacanya. Agak kesal memang ketika Agung sudah melafalkan jurus tebak-menebak dalam belajar membaca. Rasanya sangat sulit untuk mengajarkan anak yang satu ini. ketika anak-anak lain mulai menunjukan perkembangannya masing-masing, Agung seakan masih tetap berjalan di tempat. Namun saya terus berusaha untuk mengajarinya, semangat saya tidak boleh kalah dengan semangatnya yang selalu datang setiap sore hari ketika diadakan les tambahan. Sampai suatu ketika saya mulai kehabisan akal, bagaimana cara yang tepat untuk mengajar Agung membaca.
Akhirnya saya memutuskan untuk menjadikan Agung sebagai target utama dalam Program Home Visit saya, Home Visit adalah kegiatan mengunjungi rumah siswa dengan tujuan untuk mengetahui lebih dalam kondisi anak, keadaan keluarga, dan lingkungan berdasarkan pada hasil observasi yang sudah saya lakukan selama mengajar beberapa kali mengajar di kelas.

“Hari ini Bapak akan main ke rumah kalian ya, boleh gak?”. “Boleh Pak!”, jawab anak-anak penuh semangat. Sore itu ditemani siswa kelas 2, saya mulai keliling kampung menuju rumah siswa. Sesuai rencana, target utama saya adalah rumah Agung. Gerobak Mie ayam terpampang di depan rumahnya yang sederhana. “Iki umahku Pak!” kata agung sambil menarik erat tangan saya. Saat itu saya hanya bertemu dengan Ibunya, Ibu Darisem. Perempuan paruh baya bertubuh gemuk dengan penampilan yang sederhana, usianya sekitar 50 tahunan. Ibu darisem tidak bisa berbahasa Indonesia, akan tetapi ia paham jika saya berbicara bahasa Indonesia. Untungnya saya keturunan Jawa Purwokerto, yang bahasanya tidak beda jauh beda dengan bahasa Jawa Indramayu, jadi sedikit banyak masih bisa mengerti.   

Ibu Darisem sehari-hari berjualan Mie Ayam Bakso, usahanya ini baru berjalan sekitar 3 minggu karena sebelumnya beliau berjualan nasi lengko, nasi khas Indramayu mirip nasi uduk.Beliau terpaksa banting setir berjualan mie ayam karena musibah banjir yang melanda Indramayu. Bapak Kulyadi, istri beliau adalah petani tambak biasa. Mereka punya 6 anak. Dari keenam anaknya hanya tinggal 2 yang berada di rumah.  4 Anak lainnya ada yang sudah menikah dan ada pula yang merantau ke beberapa kota besar. “Agung kalau di rumah bagaimana Bu? Sering belajar apa tidak?”  tanya saya. “Kalo di rumah gak ada yang bisa ngajarin Pak, tapi semenjak ada Bapak dan Ibu guru dari Jakarta, ia sangat semangat belajarnya”. Kata Ibu. “Iya Bu, soalnya Agung termasuk anak yang masih sulit membacanya”, lanjut saya. “Pak, sejak kecil Agung punya masalah dengan pendengarannya, jadi harap maklumi saja kalau dia sulit menerima pelajaran dibandingkan dengan teman sekelasnya”. Sontak saya kaget mendengar pernyataan Ibu Darisenm, berdiam sejenak serasa tak percaya. Selama ini komunikasi saya dengan Agung terkesan tak ada masalah. Tak sedikitpun saya mengira bahwa Agung punya keterbatasan pendengaran. Hampir setiap hari ia seolah menjadi pengawal pribadi saya, tangan saya tak lepas digandengnya menyusuri jalan kampung, ia juga selalu menjadi orang pertama yang menawarkan jasa membawa tas saya jika kami sedang berjalan-jalan bersama siswa kelas 2. Pertanyaan yang terus berada di benak akhir-akhir ini akhirnya terjawab oleh Ibu kandungnya. Ternyata Agung bukanlah murid yang kurang pintar, ia adalah murid cerdas yang terganggu oleh keterbatasannya. Setelah beberapa lama berbincang dengan Ibunda Agung, saya akhirnya pamit pulang.

Banyak pelajaran yang saya dapatkan dari Agung. Di balik kekurangannya, Agung adalah sosok luar biasa, hal ini bisa saya lihat dari semangat belajar, kepedulian, inisiatif, keberanian, kreativitas, dan masih banyak lainnya. 2 Februari 2014, perpisahan kami diwarnai oleh pembirian kado, isak tangis, dan pelukan erat darinya. Siswa kelas 2 SDN Cemara Kulon yang mengajarkan saya untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi, Wahyudi Agung Cahyadi namanya.

Agung, anak ketiga dari kanan baris paling depan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar