“Assalamualaikum,
Perkenalkan nama Saya Azhar, Pak,Bu” ucap
saya sambil bersalaman ketika pertama kali dipersilahkan masuk ke salah satu
rumah cukup besar namun sederhana di Desa Cemara Kulon. “Saya Karyadi,ini Istri saya Iin dan ini anak kami namanya Bayu”.
Sambutan hangat dari keluarga kecil itu seakan menghilangkan rasa lelahku
setelah selama seharian penuh berangkat dari Depok menuju Kabupaten Indramayu
dengan serangkaian aktivitas di dalamnya. Hari ini adalah hari pertama saya
menapaki kisah di desa yang terkenal sebagai penghasil mangga, udang, dan Ikan
ini. Keluarga Bapak Karyadi akan menjadi keluarga baru saya selama kurang lebih
tiga Minggu mengabdi di desa ini, Desa Cemara Kulon. Desa yang akses jalan
masuknya tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda empat, karena hanya dihubungkan
oleh jembatan bambu dengan aliran sungai deras dibawahnya.
Bapak Azhar, begitu saya disapa di desa ini. Pengajar kelas 2
SDN Cemara Kulon dengan 29 anak didik beragam karakter dan tingkah laku menggemaskan.
Saya bahkan sering kelelelahan menghadapi tingkah laku anak-anak ini, wajar
memang karena menurut Ilmu Psikologi Pendidikan, karakteristik siswa usia
Sekolah Dasar khususnya kelas 2 merupakan anak-anak yang senang bermain,
bergerak, senang bekerja dalam kelompok, dan konkret. Maksudnya konkret disini
adalah siswa akan lebih cepat paham jika ia merasakan, melakukan, atau
memperagakan suatu materi dalam proses pembelajaran secara langsung.
Baca, tulis, hitung adalah inti dari beragam materi pelajaran
yang saya berikan di kelas ini, tentunya dengan cara-cara kreatif yang disukai
anak-anak. Penanaman nilai-nilai positif dalam kehidupan juga beberapa kali
saya terapkan dalam kegiatan belajar mengajar, seperti tanggung jawab,
kejujuran, kerja keras, toleransi, keberanian, dll.
Siswa kelas 2 SDN Cemara Kulon terdiri dari 19 orang laki-laki
dan 10 orang perempuan. Mayoritas siswa laki-laki terlihat lebih aktif dan
agresif dibandingkan dengan siswa perempuan. Namun dari segi akademis, terlihat
siswa perempuan lebih unggul dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini terbukti
ketika di hari pertama kegitan belajar mengajar, saya mencoba melakukan tes
kecil-kecilan untuk mengukur sejauh mana kemampuan baca, tulis, dan hitung
mereka. Hasil tes tersebut membuat saya cukup terkejut karena dari 29 anak,
yang sudah benar-benar lancar membaca hanya 11 siswa, 7 siswa masih mengeja, 11
anak masih sulit untuk mengeja. Dari 10 anak perempuan, hanya 2 anak yang masih
sulit membaca, selebihnya masuk ke dalam kategori yang sudah lancar membaca.
Bahkan yang membuat saya prihatin beberapa anak masih belum hafal alfabet,
untuk membedakan beberapa huruf saja masih sulit. Masalah ini akan menjadi
fokus utama saya selama mengajar disini, pikir saya.
“Coba kamu baca bagian
ini”, perintah saya sambil menyodorkan
buku cerita. Namun tak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya. “Kalau begitu coba kamu sebutkan alfabet
dari A sampai Z, pakai nyanyian juga gak apa-apa” tambah saya. “A,B,C,D, F, G……., K,L,M,O,……..Z”. “Uwis
Pak”. Ucap ia menyatakan bahwa sudah selesai. “ Kamu sadar gak? Alfabet yang tadi kamu sebutkan itu ada yang
terlongkap”. jawab saya sambil kembali mencontohkan lafal alfabet dari A
sampai Z. “Oh iya Pak”, jawabnya
sambil tersenyum memegang keningnya. Kira-kira begitu percakapan saya ketika
sedang melakukan tes dengan salah satu siswa, yang membuat saya cukup prihatin
dengan kemampuannya.
Siswa ini bernama Wahyudi Agung Cahyadi, biasa dipanggil Agung. Anak keenam dari enam bersaudara pasangan
Bapak Kulyadi dan Ibu Darisem ini sangat menarik perhatian saya. Selain karena
kemampuannya yang tertinggal dibanding dengan teman-temannya, perilakunya bisa
dikatakan paling aktif dibandingkan dengan anak lainnya. Setiap hari ruang
kelas selalu dipenuhi oleh suara teriakannya, seluruh sudut lantai kelas seakan
tak pernah ada yang terlewat dari langkah kakinya. Rasa keingintahuan berlebih
tentang sosok Agung selalu menggelayuti pikiran saya setiap hari. Mengapa dia
terlihat cukup berbeda dibanding dengan anak lainnya. Perlu diketahui, dibalik sosoknya yang sangat aktif, Agung juga sosok anak yang
bisa dikatakan penurut. Ia bahkan bisa langsung melaksanakan semua perintah
yang saya instruksikan.
"Hari ini Bapak akan
memilih kapten kelas yang baru, siapa yang mau jadi Kapten kelas?" Pertanyaan yang sama selelu terlontar ketika saya memulai
proses kegiatan belajar mengajar pada pagi hari. Pergantian ketua kelas atau
saya menyebutnya Kapten kelas sengaja saya lakukan setiap hari untuk
mengajarkan keberanian dan tanggung jawab kepada anak-anak. "Saya Pak, saya Pak, Saya pak!"
teriak beberapa anak dengan antusiasnya. Hari itu dari sekian banyak anak yang
tunjuk tangan, saya melihat Agung menunjuk tangan. Sontak mata saya langsung
tertuju padanya, terlintas dalam pikiran saya apa jadinya jika Agung yang
menjadi Kapten Kelas. Mungkin dengan diberikan tanggung jawab, ia akan
mengurangi kegaduhannya di kelas dan justru menjaga suasana kelasnyya agar
tetap kondusif. “Ya Agung, hari ini kamu
Bapak tunjuk sebagai Kapten Kelas, setuju kan teman-teman?”. “wooooo, aja Agung
Pak!” sahut beberapa anak yang tidak setuju. Tapi saya tetap memberikan
kepercayaan kepada Agung sebagai Ketua Kelas.
“Hari ini adalah pelajaran
Matematika, coba buka buku matematika kalian ya”. Sesuai dengan Rancangan Program Pembelajaran yang saya buat,
kali ini kami belajar perkalian. Hal pertama yang saya lakukan adalah
mengenalkan konsep perkalian terlebih dahulu. “jadi perkalian itu lambangnya begini ya, perkalian itu adalah
penjumlahan bertingkat, contohnya seperti ini”. Panjang lebar saya
menjelaskan tentang konsep perkalian kepada anak-anak. Semuanya hening,
anak-anak berusaha memperhatikan materi yang saya berikan. Namun, itu semua
tidak berlangsung lama, fokus anak-anak hanya bisa berlangsung kurang lebih 10
menit. Ya, selanjutnya bagaimana cara saya memaksimalkan hilang fokus anak-anak
agar tetap antusias belajar. Suasana mulai ramai, teriakan anak-anak mulai
menggema di sudut-sudut kelas. “Agung,
kamu sebagai kapten Kelas harus menertibkan teman-teman kamu yang berisik dan
jalan-jalan ya”. “Siap, Pak!”. Jawab Agung tegas sambil member hormat
kepada saya. Saya hanya bisa tersenyum melihat kelakuan Agung saat itu, ia
mengambil penggaris dan langsung memukul semua temannya yang terlihat jalan-jalan
dan berisik. “Ayo duduk!”,
perintahnya dengan tegas. “Agung, jangan
pake penggaris nyuruh duduknya, kasihan temannya”. Sahut saya. Terlepas
dari caranya yang salah, saya sangat bangga melihat ia berusaha bertanggung
jawab melaksanakan tugas yang saya berikan sebagai Kapten Kelas.
“Be ubu : Bu, Ka uku : Ku”
“Jadi apa?”
“KuKu”.
“Sudah berapa kali Bapak bilang, jangan
nebak-nebak Agung!”
Begitu kira-kira dialog saya dengan Agung di ruang kelas 2
setiap sore ketika diadakan les tambahan untuk anak-anak yang masih kurang
kemampuan membacanya. Agak kesal memang ketika Agung sudah melafalkan jurus
tebak-menebak dalam belajar membaca. Rasanya sangat sulit untuk mengajarkan
anak yang satu ini. ketika anak-anak lain mulai menunjukan perkembangannya
masing-masing, Agung seakan masih tetap berjalan di tempat. Namun saya terus
berusaha untuk mengajarinya, semangat saya tidak boleh kalah dengan semangatnya
yang selalu datang setiap sore hari ketika diadakan les tambahan. Sampai suatu
ketika saya mulai kehabisan akal, bagaimana cara yang tepat untuk mengajar
Agung membaca.
Akhirnya saya memutuskan untuk menjadikan Agung sebagai target
utama dalam Program Home Visit saya, Home Visit adalah kegiatan mengunjungi
rumah siswa dengan tujuan untuk mengetahui lebih dalam kondisi anak, keadaan
keluarga, dan lingkungan berdasarkan pada hasil observasi yang sudah saya
lakukan selama mengajar beberapa kali mengajar di kelas.
“Hari ini Bapak akan main
ke rumah kalian ya, boleh gak?”. “Boleh Pak!”, jawab anak-anak penuh
semangat. Sore itu ditemani siswa kelas 2, saya mulai keliling kampung menuju
rumah siswa. Sesuai rencana, target utama saya adalah rumah Agung. Gerobak Mie
ayam terpampang di depan rumahnya yang sederhana. “Iki umahku Pak!” kata agung sambil menarik erat tangan saya.
Saat itu saya hanya bertemu dengan Ibunya, Ibu Darisem. Perempuan paruh baya bertubuh
gemuk dengan penampilan yang sederhana, usianya sekitar 50 tahunan. Ibu darisem
tidak bisa berbahasa Indonesia, akan tetapi ia paham jika saya berbicara bahasa
Indonesia. Untungnya saya keturunan Jawa Purwokerto, yang bahasanya tidak beda
jauh beda dengan bahasa Jawa Indramayu, jadi sedikit banyak masih bisa
mengerti.
Ibu Darisem sehari-hari berjualan Mie Ayam Bakso, usahanya ini
baru berjalan sekitar 3 minggu karena sebelumnya beliau berjualan nasi lengko,
nasi khas Indramayu mirip nasi uduk.Beliau terpaksa banting setir berjualan mie
ayam karena musibah banjir yang melanda Indramayu. Bapak Kulyadi, istri beliau
adalah petani tambak biasa. Mereka punya 6 anak. Dari keenam anaknya hanya
tinggal 2 yang berada di rumah. 4 Anak
lainnya ada yang sudah menikah dan ada pula yang merantau ke beberapa kota
besar. “Agung kalau di rumah bagaimana
Bu? Sering belajar apa tidak?” tanya
saya. “Kalo di rumah gak ada yang bisa
ngajarin Pak, tapi semenjak ada Bapak dan Ibu guru dari Jakarta, ia sangat
semangat belajarnya”. Kata Ibu. “Iya
Bu, soalnya Agung termasuk anak yang masih sulit membacanya”, lanjut saya. “Pak, sejak kecil Agung punya masalah
dengan pendengarannya, jadi harap maklumi saja kalau dia sulit menerima
pelajaran dibandingkan dengan teman sekelasnya”. Sontak saya kaget
mendengar pernyataan Ibu Darisenm, berdiam sejenak serasa tak percaya. Selama
ini komunikasi saya dengan Agung terkesan tak ada masalah. Tak sedikitpun saya
mengira bahwa Agung punya keterbatasan pendengaran. Hampir setiap hari ia
seolah menjadi pengawal pribadi saya, tangan saya tak lepas digandengnya
menyusuri jalan kampung, ia juga selalu menjadi orang pertama yang menawarkan
jasa membawa tas saya jika kami sedang berjalan-jalan bersama siswa kelas 2.
Pertanyaan yang terus berada di benak akhir-akhir ini akhirnya terjawab oleh
Ibu kandungnya. Ternyata Agung bukanlah murid yang kurang pintar, ia adalah
murid cerdas yang terganggu oleh keterbatasannya. Setelah beberapa lama
berbincang dengan Ibunda Agung, saya akhirnya pamit pulang.
Banyak pelajaran yang saya dapatkan dari Agung. Di balik
kekurangannya, Agung adalah sosok luar biasa, hal ini bisa saya lihat dari semangat
belajar, kepedulian, inisiatif, keberanian, kreativitas, dan masih banyak
lainnya. 2 Februari 2014, perpisahan kami diwarnai oleh pembirian kado, isak
tangis, dan pelukan erat darinya. Siswa kelas 2 SDN Cemara Kulon yang
mengajarkan saya untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi, Wahyudi Agung
Cahyadi namanya.
Agung, anak ketiga dari kanan baris paling depan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar