Ruang kelas SDN Cemara Kulon dibanjiri air setinggi betis |
Minggu,
19 Januari 2014. Hari ini fajar tak nampak di ufuk timur langit Indramayu Desa
Cemara Kulon. Dinginnya udara pagi seakan menyeruak masuk ke dalam
selimut-selimut warga yang kala itu masih terlelap. Gemuruh rintik hujan mengalahkan
panggilan adzan subuh dari mushala dan masjid sekitar. Saya mencoba menyingkap
gorden jendela, mengintip seberapa besar hujan disertai angin itu. Betapa
terkejutnya saya ketika menyaksikan halaman rumah orang tua asuh saya saat itu
sudah digenangi air. Benar saja, hujan semalam suntuk rupanya membuat desa yang
belum lama mengalami pemekaran ini tergenang banjir. saya mencoba mencari tahu
kabar pengajar lain dan panitia lainnya, memastikan apakah mereka baik-baik
saja. Rumah panitia dan rumah Mayang pengajar kelas 4 rupanya sudah tergenang
banjir, saat itu air yang masuk ke rumah masih sekitar semata kaki. Sementara,
di jalan-jalan sudah mencapai betis orang dewasa.
Rencana
kami para pengajar untuk rapat membicarakan metode ajar yang akan kami berikan
untuk kelas hari Senin harus tertunda sampai Minggu siang dikarenakan banjir.
Walau hujan terus mengguyur, banjir perlahan mulai naik, kami tetap berkumpul
di Rumah Fathia pengajar kelas 3 yang pada sat itu sedang mendapat giliran
untuk rapat rutin. Kami berharap banjir akan segera surut dan kami bisa
melakukan kegiatan belajar mengajar seperti biasa esok hari Senin. Tak seperti
yang kami harapkan, hujan seakan enggan berhenti mengguyur desa kami. Kegiatan
belajar mengajar diliburkan sampai waktu yang belum ditentukan. Bahkan panitia
yang rumahnya semakin terendam sudah mulai mengungsi ke rumah orang tua asuh
Fathia, karena memang rumah ini berada di daratan yang agak tinggi dengan
pondasi rumah yang juga tinggi. Kami khawatir rumah-rumah pengajar yang tadi
pagi belum terendam akan ikut terendam juga saat itu. Sore hari kami memutuskan
untuk pulang mengecek rumah orang tua asuh masing-masig, khawatir barang-barang
kami sudah diterjang banjir. Untungnya pagi itu panitia sigap membungkus semua
barang keperluan titik kami yang ada di rumah panitia dan sekolah dengan trash
bag, termasuk buku-buku. Kami kembali mendapat kabar duka, rumah orang tua Uma
pengajar kelas 1 dan Anis pengajar kelas 5 yang tadi pagi belum dimasuki air,
sore itu sudah kemasukan air dengan ketinggian sekitar 20-30cm, begitupun rumah
Mayang pengajar kelas 4 yang sejak pagi sudah dimasuki air semakin parah
keadaannya. Rumah pengajar yang belum tergenang hanya rumah Icha pengajar kelas
6, Saya dan Fathia. Rumah saya dan Fathia berada di ujung jalan dengan daerah
yang agak tinggi dan pondasi rumah yang agak tinggi juga. Sementara rumah Icha
berada di daratan yang sekelilingnya sudah banjir tinggi, tetapi pondasi
rumahnya yang tinggi membuat rumahnya belum terendam saat itu.Akhirnya Mayang mengungsi ke rumah saudara orang tua
asuhnya yang tak jauh dari rumahnya, rumah berlantai dua yang cukup aman jika
lantai satu sudah tergenang banjir. Uma dan Anis masih bertahan di rumah
masing-masing.
Desa
yang terkenal sebagai penghasil udang
dan Ikan air payau ini lumpuh. Pengusaha tambak yang sebentar lagi akan panen
rugi puluhan sampai ratusan juta. Ikan-ikan yang sudah sejak beberapa bulan
lalu dipelihara lepas begitu saja terbawa banjir. momen ini justru dimanfaatkan
oleh semua warga untuk menjaring ikan dan udang di jalan-jalan dan sekitar
sungai. Banyak warga yang tidak punya tambak justru kebanjiran rejeki. Puluhan
sampai ratusan kilo ikan dan udang berhasil tertangkap dengan mudah. Sayangnya,
jalan pantura lumpuh total diterjang banjir. Transportasi pengirim ikan dan
udang terpaksa terjebak di jalur Pantura. Karenanya, harga ikan dan udang
melonjak turun drastis. Harga ikan bandeng bahkan mencapai Rp 2.000/kg, harga
udang putih (panami) yang biasanya mencapai RP 60.000/kg merosot hingga Rp
15.000/kg. Berkah tetap berkah, orang tua asuh saya bahkan bisa mengumpulkan
udang panami sebesar kurang lebih jempol kaki orang dewasa sebanyak 82 kg hanya
dalam waktu semalam, saat itu harganya masih laku Rp 25.000/kg. Kembali ke
musibah, praktis selama hari senin tidak ada aktivitas berarti yang bisa kami
lakukan selaiin berdoa agar hujan lekas berhenti dan air segera surut, karena
hujan terus mengguyur ketinggian air semakin meningkat. Malam itu Uma dan Anis
memutuskan untuk pindah ke rumah orang tua asuh Icha yang berlantai dua, dimana
lantai satunya sudah terendam banjir. Ketinggian air saat itu sudah mencapai
batas maksimal sepinggang orang dewasa.
Kami terus berdoa sambil berharap esok hari akan kembali cerah.
Harapan
kami ternyata belum terkabul, sebaliknya hujan justru turun tanpa jeda. Mulai
dari gerimis kecil sampai hujan angin lebat selalu menjadi suara pemecah sunyi
atap-atap rumah kami selama sehari penuh. Selasa pagi air semakin meninggi,
rumah orang tua asuh saya yang belum terendam pun mulai diasuki air kira-kira
setinggi 20 cm. Buku-buku di rumah panitia semakin kemasukan air karena air
terus meninggi, bayangkan rumah panitia yang menjadi korban banjir terparah di
hari pertama hari ini sudah mencapai lutut
sampai orang dewasa. Rumah fathia yang berada diujung jalan menjadi
satu-satunya rumah yang belum terendam di desa itu, panitia berinisiatif untung
mengevakuasi barang termasuk buku ke rumah Fathia menggunakan perahu salah satu
warga. Betapa sedihnya kami melihat buku-buku yang katanya sebagai jendele
dunia itu basah kuyup tak terselamatkan.
Keadaan semakin diperparah oleh padamnya listrik sejak Selasa Pagi. Desa
ini benar-benar terisolir, seakan menjadi lautan air. Perlu diketahui desa
Cemara Kulon adalah Desa yang baru mengalami pemekarfan dari desa Cemara Wetan.
Bahkan ada yang menyebut desa ini sebagai pulau, karena memang letaknya yang
dikelilingi oleh sungai-sungai dan tambak-tambak. Akses menuju desa ini cukup
sulit, mobil tidak bisa masuk. Karena satu-satunya akses menuju desa ini harus
melewati jembatan yang hanya terbuat dari bambu-bambu, naik sepeda motor
melewati desa ini pun harus ekstra hati-hati. Keadaan semakin sulit, kami tidak
bisa melakukan aktivitas apapun karena semua jalan dan rumah-rumah warga sudah
terendam. Satu-satunya daratan yang masih kering di desa ini mungkin hanya
rumah orang tua asuh Fathia yang berada di ujung jalan dengan bangunan
berpondasi tinggi. Warga sekitar menyebut bahwa bencana banjir kali ini menjadi
bencana terbesar sepanjang sejarah, pernah terjadi bencana banjir serupa di
tahun 2006 tapi tak separah ini katanya. Di desa ini juga belum ada posko
bantuan, karena memang tidak ada daratan yang kering dan keadaan desa yang
terisolir. Sebagian warga terpaksa mengungsi ke rumah saudara-saudara mereka di
perbatasan desa, yang jaraknya cukup jauh. Sebagian lagi mengungsi di rumah
warga yang berlantai 2, rumah warga berlantai 2 hanya ada 2 rumah disini yang
pertama rumah orang tua asuh Icha, yang kedua rumah yang ditempati oleh Mayang
tadi. Sebagian lagi mengungsi di rumah orang tua asuh Fathia yang belum
terendam.
Menurut
warga setempat, waktu untuk air benar-benar surut bisa mencapai seminggu lebih.
Keadaan genting ini membuat kami pengajar dan panitia melakukan rapat darurat
di rumah Fathia. Tidak ada kegiatan yang bisa kami lakukan disini. Kami bahkan
terkesan menjadi ‘benalu’ bagi warga sekitar yang juga menempati rumah-rumah
yang sama untuk mengungsi. Keadaan yang semakin buruk dikhawatirkan akan
semakin menyusahkan warga setempat dengan keberadaan kami, terlebih jika ada
diantara kami yang sakit nantinya. Sebelum memperburuk keadaan, berdasarkan
pertimbangan masalah-masalah diatas, akhirnya kami memutuskan untuk
mengevakuasi diri kami terlebih dahulu keluar dari desa. Tidak ada yang siap
dengan datangnya musibah ini memang, sekalipun warga setempat. Kami memutuskan
untuk mengevakuasi diri terlebih dahulu ke Jakarta, mencari bantuan seadanya
yang sekiranya bisa kami bawa lagi menuju desa Cemara Kulon. Mempersiapkan
segala sesuatu yang belum terselesaikan dan harus kami selesaikan di desa
tersebut setelah kami kembali nanti, Minggu 26 januari. Menyapa kembali
anak-anak korban bencana banjir. Menyelesaikan semua yang sudah menjadi
tanggungjawab kami, mengabdi untuk
negeri, menginspirasi dan memotivasi anak-anak desa Cemara Kulon melalui
Gerakan UI Mengajar. Mohon doanya agar matahari kembali menyinari desa Cemara
Kulon, Air segera surut. Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk
mengembalikan senyuman anak-anak bangsa J
mengembalikan semangat dan motivasi belajar para penerus bangsa, walaupun kini
mereka harus berbagi tempat dengan air yang ikut memasuki ruang-ruang kelas.
Kami percaya selalu ada pelangi indah yang akan hadir setelah hujan.
Azhari
Fauzan
Pengajar
Kelas 2 SDN Cemara Kulon, Kabupaten Indramayu
Gerakan
UI Mengajar Angkatan 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar