Kamis, 23 Januari 2014

Pergi tuk Kembali

Ruang kelas SDN Cemara Kulon dibanjiri air setinggi betis


Minggu, 19 Januari 2014. Hari ini fajar tak nampak di ufuk timur langit Indramayu Desa Cemara Kulon. Dinginnya udara pagi seakan menyeruak masuk ke dalam selimut-selimut warga yang kala itu masih terlelap. Gemuruh rintik hujan mengalahkan panggilan adzan subuh dari mushala dan masjid sekitar. Saya mencoba menyingkap gorden jendela, mengintip seberapa besar hujan disertai angin itu. Betapa terkejutnya saya ketika menyaksikan halaman rumah orang tua asuh saya saat itu sudah digenangi air. Benar saja, hujan semalam suntuk rupanya membuat desa yang belum lama mengalami pemekaran ini tergenang banjir. saya mencoba mencari tahu kabar pengajar lain dan panitia lainnya, memastikan apakah mereka baik-baik saja. Rumah panitia dan rumah Mayang pengajar kelas 4 rupanya sudah tergenang banjir, saat itu air yang masuk ke rumah masih sekitar semata kaki. Sementara, di jalan-jalan sudah mencapai betis orang dewasa.  

Rencana kami para pengajar untuk rapat membicarakan metode ajar yang akan kami berikan untuk kelas hari Senin harus tertunda sampai Minggu siang dikarenakan banjir. Walau hujan terus mengguyur, banjir perlahan mulai naik, kami tetap berkumpul di Rumah Fathia pengajar kelas 3 yang pada sat itu sedang mendapat giliran untuk rapat rutin. Kami berharap banjir akan segera surut dan kami bisa melakukan kegiatan belajar mengajar seperti biasa esok hari Senin. Tak seperti yang kami harapkan, hujan seakan enggan berhenti mengguyur desa kami. Kegiatan belajar mengajar diliburkan sampai waktu yang belum ditentukan. Bahkan panitia yang rumahnya semakin terendam sudah mulai mengungsi ke rumah orang tua asuh Fathia, karena memang rumah ini berada di daratan yang agak tinggi dengan pondasi rumah yang juga tinggi. Kami khawatir rumah-rumah pengajar yang tadi pagi belum terendam akan ikut terendam juga saat itu. Sore hari kami memutuskan untuk pulang mengecek rumah orang tua asuh masing-masig, khawatir barang-barang kami sudah diterjang banjir. Untungnya pagi itu panitia sigap membungkus semua barang keperluan titik kami yang ada di rumah panitia dan sekolah dengan trash bag, termasuk buku-buku. Kami kembali mendapat kabar duka, rumah orang tua Uma pengajar kelas 1 dan Anis pengajar kelas 5 yang tadi pagi belum dimasuki air, sore itu sudah kemasukan air dengan ketinggian sekitar 20-30cm, begitupun rumah Mayang pengajar kelas 4 yang sejak pagi sudah dimasuki air semakin parah keadaannya. Rumah pengajar yang belum tergenang hanya rumah Icha pengajar kelas 6, Saya dan Fathia. Rumah saya dan Fathia berada di ujung jalan dengan daerah yang agak tinggi dan pondasi rumah yang agak tinggi juga. Sementara rumah Icha berada di daratan yang sekelilingnya sudah banjir tinggi, tetapi pondasi rumahnya yang tinggi membuat rumahnya belum terendam saat itu.Akhirnya  Mayang mengungsi ke rumah saudara orang tua asuhnya yang tak jauh dari rumahnya, rumah berlantai dua yang cukup aman jika lantai satu sudah tergenang banjir. Uma dan Anis masih bertahan di rumah masing-masing.

Desa yang terkenal  sebagai penghasil udang dan Ikan air payau ini lumpuh. Pengusaha tambak yang sebentar lagi akan panen rugi puluhan sampai ratusan juta. Ikan-ikan yang sudah sejak beberapa bulan lalu dipelihara lepas begitu saja terbawa banjir. momen ini justru dimanfaatkan oleh semua warga untuk menjaring ikan dan udang di jalan-jalan dan sekitar sungai. Banyak warga yang tidak punya tambak justru kebanjiran rejeki. Puluhan sampai ratusan kilo ikan dan udang berhasil tertangkap dengan mudah. Sayangnya, jalan pantura lumpuh total diterjang banjir. Transportasi pengirim ikan dan udang terpaksa terjebak di jalur Pantura. Karenanya, harga ikan dan udang melonjak turun drastis. Harga ikan bandeng bahkan mencapai Rp 2.000/kg, harga udang putih (panami) yang biasanya mencapai RP 60.000/kg merosot hingga Rp 15.000/kg. Berkah tetap berkah, orang tua asuh saya bahkan bisa mengumpulkan udang panami sebesar kurang lebih jempol kaki orang dewasa sebanyak 82 kg hanya dalam waktu semalam, saat itu harganya masih laku Rp 25.000/kg. Kembali ke musibah, praktis selama hari senin tidak ada aktivitas berarti yang bisa kami lakukan selaiin berdoa agar hujan lekas berhenti dan air segera surut, karena hujan terus mengguyur ketinggian air semakin meningkat. Malam itu Uma dan Anis memutuskan untuk pindah ke rumah orang tua asuh Icha yang berlantai dua, dimana lantai satunya sudah terendam banjir. Ketinggian air saat itu sudah mencapai batas maksimal sepinggang orang dewasa.  Kami terus berdoa sambil berharap esok hari akan kembali cerah.

Harapan kami ternyata belum terkabul, sebaliknya hujan justru turun tanpa jeda. Mulai dari gerimis kecil sampai hujan angin lebat selalu menjadi suara pemecah sunyi atap-atap rumah kami selama sehari penuh. Selasa pagi air semakin meninggi, rumah orang tua asuh saya yang belum terendam pun mulai diasuki air kira-kira setinggi 20 cm. Buku-buku di rumah panitia semakin kemasukan air karena air terus meninggi, bayangkan rumah panitia yang menjadi korban banjir terparah di hari pertama hari ini sudah mencapai lutut  sampai orang dewasa. Rumah fathia yang berada diujung jalan menjadi satu-satunya rumah yang belum terendam di desa itu, panitia berinisiatif untung mengevakuasi barang termasuk buku ke rumah Fathia menggunakan perahu salah satu warga. Betapa sedihnya kami melihat buku-buku yang katanya sebagai jendele dunia itu basah kuyup tak terselamatkan.  Keadaan semakin diperparah oleh padamnya listrik sejak Selasa Pagi. Desa ini benar-benar terisolir, seakan menjadi lautan air. Perlu diketahui desa Cemara Kulon adalah Desa yang baru mengalami pemekarfan dari desa Cemara Wetan. Bahkan ada yang menyebut desa ini sebagai pulau, karena memang letaknya yang dikelilingi oleh sungai-sungai dan tambak-tambak. Akses menuju desa ini cukup sulit, mobil tidak bisa masuk. Karena satu-satunya akses menuju desa ini harus melewati jembatan yang hanya terbuat dari bambu-bambu, naik sepeda motor melewati desa ini pun harus ekstra hati-hati. Keadaan semakin sulit, kami tidak bisa melakukan aktivitas apapun karena semua jalan dan rumah-rumah warga sudah terendam. Satu-satunya daratan yang masih kering di desa ini mungkin hanya rumah orang tua asuh Fathia yang berada di ujung jalan dengan bangunan berpondasi tinggi. Warga sekitar menyebut bahwa bencana banjir kali ini menjadi bencana terbesar sepanjang sejarah, pernah terjadi bencana banjir serupa di tahun 2006 tapi tak separah ini katanya. Di desa ini juga belum ada posko bantuan, karena memang tidak ada daratan yang kering dan keadaan desa yang terisolir. Sebagian warga terpaksa mengungsi ke rumah saudara-saudara mereka di perbatasan desa, yang jaraknya cukup jauh. Sebagian lagi mengungsi di rumah warga yang berlantai 2, rumah warga berlantai 2 hanya ada 2 rumah disini yang pertama rumah orang tua asuh Icha, yang kedua rumah yang ditempati oleh Mayang tadi. Sebagian lagi mengungsi di rumah orang tua asuh Fathia yang belum terendam.

Menurut warga setempat, waktu untuk air benar-benar surut bisa mencapai seminggu lebih. Keadaan genting ini membuat kami pengajar dan panitia melakukan rapat darurat di rumah Fathia. Tidak ada kegiatan yang bisa kami lakukan disini. Kami bahkan terkesan menjadi ‘benalu’ bagi warga sekitar yang juga menempati rumah-rumah yang sama untuk mengungsi. Keadaan yang semakin buruk dikhawatirkan akan semakin menyusahkan warga setempat dengan keberadaan kami, terlebih jika ada diantara kami yang sakit nantinya. Sebelum memperburuk keadaan, berdasarkan pertimbangan masalah-masalah diatas, akhirnya kami memutuskan untuk mengevakuasi diri kami terlebih dahulu keluar dari desa. Tidak ada yang siap dengan datangnya musibah ini memang, sekalipun warga setempat. Kami memutuskan untuk mengevakuasi diri terlebih dahulu ke Jakarta, mencari bantuan seadanya yang sekiranya bisa kami bawa lagi menuju desa Cemara Kulon. Mempersiapkan segala sesuatu yang belum terselesaikan dan harus kami selesaikan di desa tersebut setelah kami kembali nanti, Minggu 26 januari. Menyapa kembali anak-anak korban bencana banjir. Menyelesaikan semua yang sudah menjadi tanggungjawab kami,  mengabdi untuk negeri, menginspirasi dan memotivasi anak-anak desa Cemara Kulon melalui Gerakan UI Mengajar. Mohon doanya agar matahari kembali menyinari desa Cemara Kulon, Air segera surut. Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengembalikan senyuman anak-anak bangsa J mengembalikan semangat dan motivasi belajar para penerus bangsa, walaupun kini mereka harus berbagi tempat dengan air yang ikut memasuki ruang-ruang kelas. Kami percaya selalu ada pelangi indah yang akan hadir setelah hujan.

Azhari Fauzan
Pengajar Kelas 2 SDN Cemara Kulon, Kabupaten Indramayu

Gerakan UI Mengajar Angkatan 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar